Guestbook
<

Peran Wanita Dalam Membina Keluarga (Bag. 1)


Oleh: Syaikh Sholih Bin Fauzan Al Fauzan hafizhohullaah
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Maha Penyayang.
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah. Kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Siapa yang Allah beri hidayah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tiada yang dapat memberinya hidayah. Dan aku bersaksi bahwa tiada sembahan yang haq melainkan Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga Allah mencurahkan sholawat dan salam kepadanya, dan kepada keluarganya, serta para sahabatnya.
Wa ba’du,
Pembicaraan kita berkaitan dengan wanita muslimah. Dan berbicara tentang wanita muslimah di waktu sekarang ini aku pandang cukup penting. Karena wanita di masyarakat kita sedang diserang secara membabi buta oleh musuh-musuh agama ini, di mana digulirkan apa yang disebut dengan “qodhiyyatu l mar`ah” atau “qodhooyaa l mar`ah” (problematika wanita -pent). Dan yang mereka maksud dengan istilah ini adalah mengeluarkan wanita dari kondisi/keadaan yang diinginkan oleh Allah terhadapnya.
Kita tidak pernah mengenal bahwa wanita memiliki problematika selain problematika umat wanita muslimah itu sendiri. Sesungguhnya kebodohan umat terhadap agama Islam ini dan kelemahan mereka dalam berpegang kepadanya adalah problematika umat dan wanita muslimah. Dan itulah yang akan kami upayakan untuk kami jelaskan dalam kuliah umum yang berjudul “peran wanita dan membina keluarga” ini. Namun kami memiliki beberapa komentar atas judul ini.
Pertama, seputar pengertian “tarbiyah”. Di mana yang kami maksud dengannya adalah makna luas dari pengertian “membina” dan segala sesuatu yang menjadi konsekwensinya seperti mengawasi keluarga dan menjaganya. Sehingga jangan sampai ada yang mengira bahwa tarbiyah itu hanya sekedar memperbaiki dan meluruskan akhlak. Ini adalah salah satu cakupan tarbiyah. Sedang tarbiyah untuk keluarga lebih luas lagi sisinya dari hal ini.
Kedua, boleh jadi dari judul ini akan dipahami bahwa wanita memiliki peran dalam membina keluarga akan tetapi peran itu adalah pekerjaan yang sekunder baginya. Padahal yang sebenarnya adalah bahwa pekerjaan wanita dalam membina keluarga itu adalah pekerjaannya yang paling utama sedang yang selainnya adalah pengecualian. Kalau judul kuliah umum ini adalah “peran wanita adalah membina keluarga”, maka itu lebih baik.
Tempat Wanita
Permasalahan ini membutuhkan penjelasan dan penerangan, maka kami katakan: sesungguhnya tempat yang wajar bagi wanita adalah di rumah dan di sanalah tempatnya bekerja. Ini adalah prinsip dasarnya. Dan inilah yang disokong oleh dalil-dalil syar’iy serta inilah logika fitrah yang dengannya wanita diciptakan.
Berkaitan dengan dalil-dalil syar’iy atas hal ini, maka nash-nash dan realitas-realitas konkret yang mendukungnya cukup banyak. Di antaranya:
1. Allah berfirman dengan mengarahkan perkataan kepada para ummahaatul mu`miniin:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan menetaplah di rumah-rumah kalian” (Al Ahzab: 33).
Berkata Sayyid Quthb: “Dalam ayat ini terdapat isyarat halus bahwa hendaknya rumah itu menjadi tempat asal dalam kehidupan mereka. Dan rumah itu adalah sebagai “maqorrun” (tempat kediaman -pent). Sedang selain rumah adalah pengecualian sementara yang mereka tidak boleh menetap dan berdiam di situ kecuali untuk keperluan dan itupun hanya sekedarnya saja. (fii zhilaali l qur`aan 59, 5/28 cetakan kesepuluh, Asy Syuruq).
2.
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar’ (Ath Tholaaq: 1)
Ayat ini sekalipun berkaitan dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah, namun para ulama mengatakan bahwa hukumnya tidak terkhususkan untuknya akan tetapi juga mencakup wanita yang lain. Penisbahan dalam “rumah kalian” atau “rumah mereka” (dalam dua ayat di atas -pent) padahal rumah itu biasanya adalah milik suami, itu adalah penisbahan yang menunjukkan penempatan, bukan pemilikan. Seolah, pada prinsipnya, rumah itu adalah tempat tinggal bagi wanita.
3. Dalam kisah-kisah para nabi ada pelajaran dan ibroh. Seperti kisah Musa dengan dua orang wanita:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (Q.S.28:23)
Hingga firman Allah:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْراً فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (Q.S.28:27)
Mari kita perhatikan pelajaran-pelajaran dalam ayat ini.
Musa mendapatkan para penggembala berada di sumber air dan di belakang mereka ada dua orang wanita yang menghalang-halangi kambing mereka agar tidak bercampur baur dengan kambing orang banyak itu. Musa bertanya kepada dua orang wanita itu, ada apa dengan kalian? Mengapa kalian tidak memberi minum kambing kalian bersama orang-orang itu?
Datanglah jawabannya: kami tidak dapat memberi minum sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka. Dua orang wanita ini memiliki ketakwaan dan sikap waro’ yang mencegah mereka untuk bercampur baur dengan para lelaki. Kemudian seolah ada pertanyaan lain muncul, apa yang menyebabkan kalian keluar? Lalu muncullah jawabannya secara langsung: dan ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut umurnya. Ada kebutuhan dan keperluan mendesak yang mengharuskan mereka untuk keluar. Dan walaupun mereka terpaksa untuk keluar, mereka tetap menjaga akhlak dan adab dengan tidak berbaur bersama para lelaki.
Kemudian ada pelajaran lain di mana salah seorang dari dua wanita itu berpikir bahwa sudah saatnya segala sesuatunya kembali pada keadaan semula (yaitu mereka tidak lagi keluar rumah untuk memberi minum ternak -pent).
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Syu’aib pun menerima solusi tersebut dan ia mengajukan tawaran kepada Musa:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun..” (Q.S.28:27)
Musa pun menerima tawaran tersebut dan segala sesuatunya pun kembali wajar. Musa bekerja menggembalakan ternak, dan wanita itu pun menjadi seorang istri yang bekerja di rumah. Demikianlah Al Quran berkisah kepada kita dan sungguh dalam kisah-kisah mereka itu ada pelajaran berharga.
4. Sholat di masjid itu adalah amalan yang masyru’ bagi kaum lelaki dan merupakan salah satu amalan yang paling utama.Terlebih lagi sholat di masjid Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam, dan bersama beliau. Meskipun demikian, Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam memerintahkan para wanita untuk sholat di rumah. Dari istri Abi Humaid As Saa’idiy, bahwasanya ia datang kepada Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam dan berkata: “Sesungguhnya aku suka sholat bersamamu”. Lalu beliau berkata: “Aku tahu bahwa engkau menyukai sholat bersamaku, akan tetapi sholatmu di sudut ruangan itu lebih baik daripada sholatmu di kamar. Dan sholatmu di kamar itu lebih baik daripada sholatmu di dalam rumah. Dan sholatmu di dalam rumah itu lebih baik dari sholatmu di masjid kaummu. Dan sholatmu di masjid kaummu itu lebih baik daripada sholatmu di masjidku”. Lalu istri Abi Humaid ini pun menyuruh dibuatkan untuknya sebuah tempat sholat di tempat paling dalam dan gelap di rumahnya. Dan ia pun sholat di situ sampai akhir hayatnya. (Hadis ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/371 dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 3/95. Hadis ini hasan. Lihat “haasyiyatu l a’zhomi ‘alaa shohiih ibni khuzaimah).
Isyarat dalam hadis ini cukup jelas bahwa asalnya adalah menetapnya seorang wanita di dalam rumah. Sampai-sampai Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam lebih mengutamakan sholat di rumah untuk seorang wanita, daripada sholat di masjid beliau shollallahu’alayhiwasallam sekalipun beliau mengizinkan seorang wanita untuk pergi ke masjid.
5. Realitas para wanita muslimah pada abad-abad permulaan -yang merupakan contoh untuk diteladani- mendukung hal ini. Di mana kita mendapatkan bahwa keluarnya seorang wanita dan bekerjanya ia di luar rumah merupakan peristiwa yang hampir bisa dihitung, dan memiliki sebab-sebab yang mengharuskan untuk demikian. Bahkan yang demikian itulah yang dipahami oleh para Sahabat. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud diminta oleh istrinya untuk memberinya sebuah jilbab. Ibnu Mas’ud berkata: “Aku khawatir engkau akan meninggalkan jilbab yang telah Allah kenakan untukmu”. Istrinya berkata: “Jilbab apakah itu?”. Ibnu Mas’ud berkata: “Rumahmu”.
6. Yang diajarkan oleh syari’at ini itulah yang sesuai dengan fitrah. “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.S.67: 14). Sesungguhnya menetapnya seorang wanita di dalam rumah merupakan logika fitrah yang sesuai dengan tugas dan karakternya dan yang menjaganya dari keterceraiberaian dan kekontradiktifan kepribadiannya. Percobaan-percobaan ilmiah psikologis telah memberi dukungan terhadap hal ini. Sebagaimana sebagian peneliti yang cukup obyektif di Barat telah menyampaikan seruan untuk meminimalisir akibat negatif mengembankan wanita suatu pekerjaan yang bertentangan dengan fitrah dan karakternya. Akan tetapi para pemuja syahwat sudah sedemikian tuli terhadap setiap orang yang menyeru hal itu. Bahkan mereka menuduhnya sebagai orang yang mengajak para wanita untuk kembali ke masa kemunduran dan perbudakan, demikianlah mereka membuat klaim! Dan akan ada tambahan penjelasan tentang hal ini di sela-sela bahasan.
Meyikapi Masalah Seputar Keluarnya Wanita
Perlu dipahami bahwa keluarnya seorang wanita tidaklah terlarang secara mutlak. Telah diriwayatkan beberapa keterangan yang menunjukkan bolehnya wanita keluar dan bekerja di luar rumah, akan tetapi keadaan ini bukanlah merupakan hukum asal, melainkan sebagai pengecualian dan kebutuhan yang mendesak.
Salah satu riwayat tentang hal ini adalah diizinkannya seorang wanita oleh Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam untuk sholat di masjid sekalipun beliau lebih mengutamakan sholatnya wanita itu di rumah.
Demikian juga riwayat tentang keikutsertaan sebagai wanita di beberapa pertempuran untuk memberi minum dan mengobati korban yang terluka.
Para penyeru pembebasan wanita, atau lebih tepatnya para penyeru penghancuran wanita dari kalangan pengekor hawa nafsu, telah berpegang dengan riwayat ini. Sebagaimana sebagian orang baik yang telah menjadi sedemikiran rendah diri di hadapan tekanan peradaban asing, juga telah menjadikan riwayat ini sebagai dalil untuk membela Islam, dalam dugaan mereka.
Untuk menjawab hal ini, kami katakan: sesungguhnya keluarnya seorang wanita dan bekerjanya ia di luar rumah bukan sesuatu yang terlarang secara mutlak. Bisa jadi ada keperluan yang mendesaknya untuk keluar seperti keluarnya dua putri Syu’aib. Bisa juga itu menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk umat ini seperti seorang wanita yang mengajarkan saudari-saudarinya sesama wanita atau memberikan pengobatan untuk mereka. Untuk hal-hal seperti inilah dalil-dalil keluarnya seorang wanita itu dipahami. Dan itu merupakan keadaan pengecualian, bukan kondisi asal. Oleh karena itu kita mendapatkan Imam Ibnu Hajar mengatakan: bisa jadi keluarnya wanita bersama suatu pasukan itu telah dinasakh. Di mana ia menjelaskan dalam “Al Ishoobah” riwayat hidup Ummu Kabsyah Al Qodho’iyyah dan berkata: hadisnya dikeluarkan oleh Abu Bakr bin Abi Syaybah dan Ath Thobrooniy dan yang lain dari jalan Al Aswad bin Qoys dari Sa’id bin ‘Amr Al Qurosyiy bahwasanya Ummu Kabsyah seorang wanita dari Qodho’ah berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk keluar bersama pasukan begini dan begini”. Beliau berkata: “Tidak”. Ummu Kabsyah berkata: “Wahai Rasulullah aku bukannya ingin berperang. Tapi aku ingin mengobati orang yang terluka dan orang sakit, dan aku akan membagi-bagikan minuman”. Beliau berkata: “Kalau saja itu tidak menjadi suatu sunnah dan akan dikatakan orang: si fulanah pernah keluar (dalam suatu pasukan) tentu aku akan mengizinkanmu. Akan tetapi, duduklah (tidak usah ikut -pent)”. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan di bagian akhirnya, “Duduklah, jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Muhammad berperang dengan seorang wanita”. Lalu Ibnu Hajar berkata: Hadis ini dan hadis yang terdahulu dalam riwayat hidup Ummu Sinaan Al Aslamiy bisa dipadukan dengan mengatakan bahwa hadis ini menasakh hadis yang sebelumnya. Karena hadis sebelumnya pada waktu perang Khaibar, sedang hadis ini setelah Fathu Makkah. (Al Ishoobah 4/463)
Bagaimanapun, dalil-dalil tersebut tsabit untuk perkara keluarnya sebagian wanita dan ikutsertanya mereka dalam mengobati orang yang terluka dan untuk membagikan minuman, akan tetapi itu adalah kondisi-kondisi terbatas yang ditakar sesuai dengan kadarnya dan tidak sampai mengalahkan kondisi yang asal. Dan cukup penting membedakan secara jelas antara kondisi bekerjanya seorang wanita di luar rumah sebagai suatu hukum asal dan antara memandangnya sebagai suatu pengecualian.
Kalau ia merupakan pengecualian untuk keadaan-keadaan tertentu, maka kita tidak akan kehabisan solusi untuk mengatasi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul dengan keluarnya seorang wanita. Namun di sini bukan tempat untuk memaparkan solusi-solusi itu. Adapun kalau keluarnya seorang wanita itu dijadikan sebagai perkara asal sebagaimana yang dipandang oleh sebagian orang-orang yang terbaratkan, di mana mereka melihat bahwa wanita akan tetap tidak bermanfaat apa-apa kalau ia bekerja di rumah. Dan ini merupakan kelumpuhan pada setengah bagian masyarakat. Aku katakan: kalau kita berjalan dengan arah seperti ini, maka dampak-dampak negatif dari keluarnya para wanita, dan segala konsekwensinya akan muncul sebagaimana yang terjadi di masyarakat Barat.
Akan muncul mafsadat-mafsadat ikhtilat, dan mafsadat-mafsadat kosongnya rumah dari peran seorang ibu, walaupun kita menggunakan berbagai macam prosedur dan walaupun kita bersungguh-sungguh untuk itu, serta walaupun sebagian orang berupaya untuk menutup-nutupinya dengan slogan yang menipu: “keluar dalam koridor ajaran syari’at dan sesuai dengan budaya kita”. Kemudian kita perlu memahami bahwa kalau sudah diterima oleh kita bahwa yang menjadi asal adalah bahwa seorang wanita bekerja di rumah dan bahwa bekerjanya ia di luar rumah merupakan suatu pengecualian serta bahwa inilah yang ditentukan berdasarkan dalil-dalil syar’iy, maka setelah itu kita tidak lagi memiliki pilihan lain antara beriltizam dengan hal ini atau tidak beriltizam dengannya, kalau kita memang benar-benar muslim.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S.33:36)
Ayat ini walaupun turun untuk suatu perkara tertentu, namun kandungannya bersifat umum. Kemudian ia turun setelah ayat-ayat yang memerintahkan para istri Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam untuk menetap di rumah mereka.
Allah telah menerangkan bahwa perbuatan meninggalkan, dan berpaling dari, syari’at-Nya merupakan sebab pasti -tidak diragukan lagi- atas kesengsaraan seseorang seperti keadaan sebagian besar umat manusia di atas bumi sekarang ini.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Q.S.20:124)
Dan sesungguhnya keadaan umat yang memiliki manhaj lurus namun mereka meninggalkan manhaj tersebut dan mencari manhaj lain dalam sampah pemikiran manusia, seperti yang diungkapan oleh penyair:
Laksana unta yang mati kehausan di padang sahara
Sedang air di atas punggungnya ia bawa-bawa
(Bersambung insya Allah)
Diterjemahkan oleh tim redaksi akhwat.web.id dari tautan: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=738949

Tidak ada komentar:

Posting Komentar